Hukum Pers -Bagian dari Pra Cetak-


Kekerasan, Pers dan HAM (suatu kajian pengantar)

Oleh :  R.M. Ahmad Ba’its Diponegor, SH., S.HI.

Pengertian Kekerasan

Secara etimologis, kekerasan diartikan sebagai : Pertama, “sifat (hal dan sebagainya) keras; kegiatan; kekuatan dan lain-lain”, Kedua, “paksa (an); kejang; kekejangan;” sedangkan kata sifatnya “keras” diartikan sebagai : Pertama, padat kuat dan tidak mudah berubah bentuknya atau tak mudah pecah; lawan lunak, empuk, lembut; Kedua, pada umumnya menyatakan sifat atau hal yang sangat atau lebih daripada keadaan biasa, misalnya kuat; teguh, giat, dan sebagainya.Pengertian “kekerasan” seperti ini yang belum menyamakan kekerasan dengan violence (sebagaimana dimaksud dalam bahasa Inggris) juga terdapat dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan Sutan Mohammad Zain.[1]

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia susunan Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, kata “kekerasan” digunakan sebagai padanan “violence”, yaitu: “perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain” (arti kedua). Webster’s new World College Dictionary memberikan definisi violence sebagai “physical force used so as to injure, damage, or destroy; extreme roughness of action” (arti pertama).  Dalam kedua kamus terakhir ini, kekerasan adalah tindakan fisik yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang untuk melukai, merusak, atau menghancurkan orang lain atau harta benda dan segala fasilitas kehidupan yang merupakan bagian dari orang lain tersebut.[2]Dalam definisi terminologis, Jack D. Douglas dan Frances Chaput Waksler mendefinisikan kekerasan sebagai istilah yang menggambarkan perilaku, baik yang bersifat terbuka, menyerang, ataupun bertahan, yang disertai penggunaan kekuatan terhadap orang lain.[3]

Menurut Poerwandari, kekerasan adalah semua bentuk tindakan, intensional (disengaja) dan ataupun karena pembiaran dan kemasabodohan, yang menyebabkan manusia (lain) mengalami luka, sakit, penghancuran, bukan cuma dalam artian fisik.[4] Johan Galtung menjabarkan istilah kekerasan sebagai segala sesuatu yang menyebabkan orang terhalang untuk mengaktualisasikan potensi diri secara wajar.[5]

Maksud dari definisi ini ialah, manusia pada dasarnya menginginkan akan sesuatu. Tetapi untuk mencapai sesuatu tadi, manusia bisa melakukan berbagai cara untuk mendapatkannya. Karena dengan menghalalkan cara demikian, ia tidak mampu mengaktualisasikan diri secara wajar sebagaimana dikatakan Galtung.

Pemikiran Galtung tentang kekerasan ini berbeda dengan pemikiran Arendt yang menyatakan kekerasan terjadi karena pengaruh kebebasan manusia untuk berkehendak sesuai dengan apa yang diinginkannya. Karena dengan kekerasan dapat membawa kita pada tingkat kesadaran.[6] Pandangan kebebasan berkehendak inilah, yang membedakannya dengan pendapat Galtung, dimana dalam bahasa Galtung kekerasan ialah terhalangnya seseorang untuk mengaktualisasikan diri secara wajar. Kata “terhalang”, menunjukkan ketidakbebasan seseorang seperti yang dikatakan Arendt.

Senada dengan pendapat sebelumnya, Rieke Diah Pitaloka menyatakan bahwa kekerasan terjadi karena manusia tidak bebas dalam berkehendak. Ketidakbebasannya inilah yang membuat manusia tidak mampu berpikir dan memberikan penilaian kritis. Tindakan yang akan dilakukannya bukan berdasarkan kehendak pribadi, namun karena terkondisikan dan atau dikondisikan oleh tekanan di luar dirinya.[7] Tampaknya pandangan Rieke dipengaruhi pemikiran Galtung yang dikenal dengan teori kekerasan strukturalnya.

Teori-Teori Kekerasan

Lambang Trijono memberikan kata pengantar dalam buku Spiral Kekerasan -sebuah terjemahan- Karya Dom Helder Camara, menyatakan bahwa, Camara adalah seorang strukturalis yang menyadari sepenuhnya bahwa kekerasan terbagi dalam tiga kelompok, yaitu kekerasan ketidakadilan, kekerasan pemberontakan sipil, dan kekerasan represi Negara. Ketiganya, oleh Camara merupakan realitas multidimensi yang saling berkaitan tidak dapat dipisahkan antara satu kekerasan dengan kekerasan lainnya.[8]

Kekerasan karena ketidakadilan misalnya, ini menjadi jamak diseluruh Negara bahwa faktor ketidakadilan memicu munculnya kekerasan. Sehingga Helder menyebutnya kekerasan ketidakadilan.

Akibat ketidakadilan, masyarakat sipil mengalami tekanan penderitaan, alienasi secara struktural seperti dialami kaum miskin kota atau mereka (baca : rakyat) yang merasakan langsung pahitnya dibawah himpitan ekonomi atau kebijakan yang tidak pro-rakyat, dan bisa pula dialami kelompok anak-anak muda yang mengkritisi kebijakan ketidakadilan melalui langkah pemberontakan dan protes untuk menuntut suatu keadilan.

Menanggapi kondisi sosial demikian, penguasa merasa bertanggungjawab untuk menjaga stabilitas Negara dengan cara-cara represif melalui alat-alat Negara untuk menekan masyarakat sipil. Ragam kekerasan ini, disebut Dom sebagai kekerasan spiral karena bentuknya menyerupai spiral.

Rieke dalam tulisannya, menambahkan penjabaran kekerasan menurut Jack D. Douglas dan Frances Chaput Waskler, yaitu empat kekerasan tersebut dapat diidentifikasi sebagai berikut: Pertama, Kekerasan Terbuka, bentuk Kekerasan yang dapat dilihat, seperti perkelahian; Kedua, Kekerasan Tertutup, kekerasan tersembunyi atau kekerasan yang tidak dilakukan langsung, seperti tindakan mengancam; Ketiga, Kekerasan Agresif, kekerasan yang dilakukan tidak untuk mendapatkan sesuatu; Keempat, Kekerasan Defensif, kekerasan yang dilakukan sebagai perlindungan diri.

Pengertian Pers

Pers secara sempit meliputi media cetak. Dalam artian luas dapat diartikan sebagai media massa secara keseluruhan, sesuai dengan kemajuan teknologi.[9] Seperti berkembangnya stasiun televisi milik pemerintahan daerah maupun swasta lokal/nasional. Belakangan kehadiran internet dimanfaatkan pula oleh kalangan media dengan hadirnya koran-koran online/digital atau website-website dari berbagai media massa baik elektronik/cetak.

Pemerintah Republik Indonesia memberikan definisi dalam UU No 11 Tahun 1966 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers, sebagai berikut:

Pers adalah lembaga kemasyarakatan alat revolusi yang mempunyai karya sebagi salah satu media komunikasi massa yang bersifat umum berupa penerbitan teratur waktu terbitnya, diperlengkapi atau tidak diperlengkapi dengan alat-alat milik sendiri berupa percetakan, alat-alat foto, klise, mesin-mesin stensil atau alat-alat teknik lainnya.[10]

Pada perkembangannya, Pemerintah Republik Indonesia menerbitkan peraturan perundang-undangan baru mengenai pers dengan pemberian definisi berbeda sebagaimana diatur dalam UU No 40 Tahun 1999 Tentang Pers, sebagai berikut:

Pers adalah lembaga sosial dan wahana komunikasi massa yang melaksanakan kegiatan jurnalistik meliputi mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah dan menyampaikan informasi baik dalam bentuk tulisan, suara, gambar, suara dan gambar, serta data dan grafik maupun dalam bentuk lainnya dengan menggunakan media cetak, media elektronik, dan segala jenis saluran yang tersedia.[11]

Sementara jika Pers dilihat dari segi bisnis, dapat diartikan sebagai suatu kelompok kerja yang terdiri dari berbagai komponen (wartawan, redaktur, tata letak, percetakan, sirkulasi, iklan, tata usaha, dan sebagainya), yang menghasilkan produk berupa media cetak.[12]

Menurut leksikom komunikasi, pers berarti :

1. Usaha percetakan atau penerbitan

2. Usaha pengumpulan dan penyiaran berita

3. Penyiaran berita melalui surat kabar, majalah, radio dan televisi

4. Orang-orang yang bergerak dalam penyiaran berita

5. Medium penyiaran berita, yakni surat kabar, majalah, radio dan televisi.[13]

Dari berbagai penjelasan di atas, dapatlah dipahami bahwa keberadaan pers sangatlah penting dalam suatu Negara. Karena ia melakukan tugas-tugas jurnalistik yaitu diantaranya penyebaran berita dan opini.

Berita-berita dan opini dibangun berdasarkan fakta yang ada dalam suatu kejadian atau peristiwa di masyarakat dengan mengedepankan aspek ke-aktualan, kedekatan berita dengan pembaca, pentingnya informasi bagi pembaca, luar biasanya berita dibandingkan dengan berita-berita umumnya, aspek ke-tokoh-an atau public figure yang dapat mempengaruhi value berita di mata pembaca, berita eklusif yang hanya dimiliki oleh satu media, dan sebagainya.

Jika beberapa aspek tadi tidak diindahkan, maka konsekuensi bagi pers adalah diprotes bahkan yang lebih ekstrim bisa saja ditinggalkan pembacanya.

Sebab itu, pers tentu tidak bekerja sekedar sebagai alat pemberitaan saja, akan tetapi pers di sini pun secara tidak langsung melakukan perannya sebagai fungsi informasi, pendidikan, hiburan, lembaga ekonomi dan kontrolnya[14] kepada masyarakat, pemerintah dan sebaliknya masyarakat dan pemerintah terhadap pers.

Mengenai tanggungjawab pers, UU No 40 Tahun 1999 menyebutkan dalam Pasal 5 sebagai berikut:

  1. Pers nasional berkewajiban memberitakan peristiwa-peristiwa dan opini dengan menghormati norma-norma agama dan rasa kesusilaan masyarakat serta asas praduga tak bersalah.
  2. Pers wajib melayani Hak Jawab.
  3. Pers wajib melayani Hak Tolak.[15]

Wartawan Sebagai Insan Pers

Wartawan yang dikenal juga sebagai kuli tinta, merupakan unsur penting dan pokok dalam dunia pers. Pasalnya sebuah peristiwa dapat diabadikan dalam berita sebagaimana masyarakat kita mengenalnya, tidak lahir begitu saja dengan sendirinya. Tetapi, ini berkat kerja keras para wartawan dalam mencari berita, mengejar sumber berita dan mengemasnya dengan prinsip 5 W + 1 H (What, Where, When, Who, Why, dan How). Tak jarang, dalam salah satu jenis pencarian berita. Seorang wartawan dihadapkan untuk melakukan tugas investigasi, dan menjadikannya berita eklusif.

Gambaran singkat di atas, hanya sebatas siapa wartawan itu?. Untuk memahami lebih jauh, dapatlah kiranya mencerna definisi wartawan oleh Ensiklopedia Wikipedia Indonesia, menurut Wikipedia; wartawan ialah seseorang yang melakukan kegiatan jurnalisme dengan menciptakan laporan akan peristiwa dengan cara pandang objektif dan tidak memiliki pandangan dari sudut tertentu untuk melayani masyarakat, melalui publikasi dalam bentuk media massa (televisi, radio, film dokumentar, koran, majalah, dan internet).[16]

Sementara pandangan tak jauh berbeda diungkapkan dua organisasi wartawan terkemukan di Indonesia, yakni Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Definisi wartawan versi PWI, adalah suatu kegiatan berhubungan dengan kegiatan tulis menulis yang di antaranya mencari data (riset, liputan, verifikasi) untuk melengkapi laporannya. Wartawan dituntut objektif, hal ini berbeda dengan penulis kolom yang bisa mengemukakan subjektivitasnya.

Sedangkan AJI memberikan definisi jurnalis sebagai profesi atau penamaan seseorang yang pekerjaannya berhubungan dengan isi media massa. Jurnalis meliputi juga kolumnis, penulis lepas, fotografer, dan desain grafis editorial. Akan tetapi pada kenyataan referensi penggunaannya, istilah jurnalis lebih mengacu pada definisi wartawan.

Kemudian secara yuridis, mengenai pengertian wartawan dapat ditilik pada Undang-Undang No. 11 Tahun 1966 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers dalam Pasal 1 Ayat 3, berbunyi : “Kewartawanan ialah pekerjaan/kegiatan/ usaha yang berhubungan dengan pengumpulan, pengolahan dan penyiaran, dalam bentuk fakta, pendapat, ulasan, gambar-gambar, dan lain-lain sebagainya untuk perusahaan pers, radio, televisi, dan film”, dan ayat 4, “Wartawan ialah karyawan yang melakukan pekerjaan kewartawanan seperti yang dimaksudkan dalam ayat (3) pasal ini secara kontinyu”.[17]

Undang-Undang di atas, selanjutnya dirubah dengan diundangkannya Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers. Di UU terbaru ini dalam Pasal 1 ayat 4, wartawan diberikan definisi: “Wartawan adalah orang yang secara teratur melaksanakan kegiatan jurnalistik”[18]

Dengan demikian dapat dikatakan wartawan atau jurnalis[19] adalah mereka yang melakukan profesinya dalam ranah pemberitaan melalui proses-proses jurnalistik untuk menghasilkan berita layak bagi pembaca/masyarakat/publik yang disebarluaskan atau dipublikasikan melalui media massa seperti surat kabar dan media elektronik dengan mengedepankan aspek etika dan estitika sebagaimana telah diatur dalam kode etik wartawan sesuai peraturan-peraturan tentang pers di suatu Negara, dimana pers itu berada.

Guna memperlancar tugas profesinya, para wartawan oleh media ditempat dia bekerja selalu dibekali kartu pengenal/identitas yang menunjukkan sebagai pers. Bahkan seluruh media dalam aturan tertulisnya yang juga biasanya tercantum dalam kartu pers menyebutkan bahwa kartu identitas dalam setiap praktik kewartawanan senantiasa wajib dikenakan.

Teori-Teori Pers

Munculnya teori-teori pers dipicu oleh dialektika antara kebebasan dan tanggung jawab pers terhadap kondisi ruang sosial yang ada. Oleh karenanya empat sarjana Amerika Serikat yaitu Siebert, Peterson, dan Schramm membentuk “Four Theories of the press”.

Empat teori pers di dunia ini terdiri dari Teori Pers Authoritarian,  Teori Libertarian, Teori Tanggung Jawab Sosial, dan Teori Soviet Totalitarian.

1) Teori Pers Authoritarian

Teori Pers Authoritarian lahir dan dikembangkan sejak abad 16-17 di Inggris yang merupakan falsafah kekuasaan mutlak dari kerajaan atau kekuasaan mutlak dari pemerintah, atau kedua-duanya. Bertujuan guna mendukung dan mengembangkan kebijaksanaan dari pemerintah yang sedang berkuasa, dan untuk mengabdi kepada Negara.

Hubungannya dengan media massa/komunikasi, teori ini berperan dalam pemerintah sebagai fungsi kontrol. Artinya, suatu media dapat terbit, jika mendapatkan izin dari kerajaan atau pemerintahan. Media pun harus menerima dibimbing dan diberikan lisensi bahkan kadang-kadang sensor dari Pemerintah.

Akibat kebijakan demikian, maka pers dilarang melakukan kritik terhadap mekanisme pemerintahan dan kepada pejabat yang sedang berkuasa. Sehingaa, pers/media massa oleh Pemerintah hanya dijadikan alat atau sarana yang efektif bagi kebijakaan pemerintahan. Meskipun, media massa tersebut milik pemerintah maupun swasta.[20]

2) Teori Pers Libertarian

Teori ini berasal dari karya Milton, Locke, Mill dan falsafah umum rationalisme dan hak alam yang dipraktikan di Inggris setelah tahun 1688, dan berkembang di Amerika dan seluruh dunia.

Berbeda halnya dengan teori sebelumnya, teori ini bertujuan memberikan penerangan/pencerahan, menghibur, dan menjual terutama untuk mengecek dan menemukan aspek kebenaran.

Hal ini, mempengaruhi fungsi kontrol pasar terhadap media. Yakni “pembenaran sendiri ke kebenaran” dengan “pasaran bebas idea-idea”, dan dikontrol melalui pengadilan jika terjadi pelanggaran hukum.

Oleh karnanya, fungsi kontrol tidak lagi pada pemerintah sebagaimana pada teori Authoritarian. Begitu pula terhadap kepemilikan suatu media, yang sepenuhnya dapat dimiliki siapapun jika mempunyai kekuatan sarana ekonomi untuk menggunakan dan mengelolanya.[21]

Menurut Eko Yahya, teori ini menempatkan pers sebagai “Public Watch Dog” yang berperan sebagai sarana penyalur hati nurani rakyat untuk mengawasi dan menentukan sikap kebijakan pemerintah.[22]

3) Teori Pers Tanggung Jawab Sosial (Social Responsibilty Theory)

Awal kali muncul dari karya-karya tulis Hocking dan rumusan Komisi Kebebasan Pers, karya praktisi jurnalistik dan kode etik media yang dikembangkan khusus di Amerika Serikat pada abad ke-20.

Hampir sama dengan teori Libertarian, teori ini bertujuan memberi penerangan, menghibur, menjual, tetapi mengutamakan untuk membangkitkan konflik ke forum diskusi.

Dengan tujuan seperti di atas, maka fungsi kontrol bukan hanya pasar dalam arti pendapat masyarakat dan tindakan dari konsumen. Melainkan terdapat peran penting etika-etika profesi.

Jadi, media massa dilarang memberitakan tulisan-tulisan yang melanggar hak-hak pribadi yang  diakui oleh hukum dan dilarang melanggar kepentingan vital masyarakat. Jika mengingkari, maka masyarakat akan membuat media tersebut mematuhinya.

Sementara itu, dalam hal kepemilikan, swasta memiliki andil besar. Pemerintah boleh mengambil alih, dengan alasan keamanan dan demi kepentingan umum.[23]

4) Teori Pers Soviet Totalitarian (Teori Soviet Communist)

Lahir pada era Uni Soviet Russia yang berkembang di negara-negara komunis Eropa Timur dan dikembangkan pula oleh Adolf Hitler di Jerman dengan Nazinya dan oleh Benito Mussolini di Italia dengan Fasismenya. Teori tersebut berdasar pada ajaran Marxisme, Leninisme, Stalinisme dan pembauran pemikiran Hegel serta cara berberpikir Russia abad 19.

Oleh karena ia merupakan produk dan alat penguasa soviet, maka tujuan media diarahkan untuk membantu dan berlangsungnya sistem Sosialisme Soviet, khususnya kelangsungan para diktator partai. Sehingga pengguna media massa hanya diperuntukkan bagi para anggota partai yang setia dan ortodoks. Akibatnya, media massa pun dikontrol dan diawasi dengan ketat seperti dilarang mengkritik tujuan partai dan kebijakan-kebijakannya.[24]

Perspektif Kemerdekaan Pers

Istilah “Kemerdekaan Pers dan Kebebasan Pers” sering ditemui dalam berbagai referensi untuk menyebut pada makna yang sama.

Kalimat “Kemerdekaan Pers” merupakan terjemahan dari the freedom of the press, yang dapat dianologkan dengan arti free from the dom, atau bebas dari dari penguasa. Sedangkan, kalimat “Kebebasan Pers” merupakan terjemahan dari liberty to atau bebas untuk melakukan.

Kebebasan pers juga harus diartikan sebagai kebebasan untuk mempnuyai dan menyatakan pendapat melalui pers[25].

John C. Merrill dalam bukunya, The Dialetic in Journalism, Toward a Responsibility Use of Press Freedom,[26] menyebutkan bahwa kata-kata kebebasan pers, sebenarnya memiliki pengertian sebagai suatu kondisi yang memungkinkan para pekerja pers memilih, menentukan, dan mengerjakan tugasnya sesuai dengan keinginan mereka. Pengertian ini menyiratkan bahwa kebebasan pers mencakup kebebasan negatif (bebas dari) dan kebebasan positif (bebas untuk). Secara filosofis, konsep “bebas dari” merupakan pemikiran Thomas Hobbes dan John Locke, yg berarti “kondisi yang memungkinkan seseorang tidak dipaksa untuk melakukan perbuatan tertentu”. Sementara konsep “bebas untuk” merupakan pemikiran Jean Jasques Rousseau dan G.W.F. Hegel, yang berarti “kondisi yang memungkinkan seseorang berbuat sesuatu untuk mencapai apa yang diinginkannya”.[27]

Susanto-Sunario dalam Globalisasi dan Komunikasi, mengatakan bahwa dalam analisis kebebasan sosial, biasanya diadakan penganalisaan berdasarkan nilai “positif” dan “negatif”, perdebatan mana tidak akan berakhir karena nilai erat hubungnnya dengan budaya dan tingkat pendidikan, serta latar belakang keluarga. Karenanya, sebaiknya kebebasan nilai sosial dilihat dari segi : bebas untuk apa dan bebas dari apa.[28]

Konsep bebas untuk apa? Ialah jenis kebebasan yang menunjukkan kepada kebebasan eksistensial, yakni untuk memilih jenis pendidikan yang menurut diri adalah terbaik untuk dirinya. Dengan demikian, kebebasan seseorang untuk memilih bidang kewartawanan (jurnalistik) sebagai profesi dan sumber nafkahnya adalah kebebasan eksistensialnya. Tolak ukur “bebas dari apa?” akan dijawab dengan segera oleh pers sebagai bebas dari sensor.[29] Namun demikian, kebebasan tanpa sensor, dimaknai tidak secara mutlak. Tetapi, tetap ada pembatasan sesuai dengan etika profesionalisme jurnalistik yang dilakukan di pra pemberitaan.

Albert Camus mengungkapkan, bahwa kemerdekaan pers tidak mati sendirin. Pada waktu bersamaan, keadilan akan diasingkan selama-lamanya, bangsa mulai merintih sakit dan yang tak bersalah akan disalibkan berkali-kali setiap hari. Dengan kata lain, kemerdekaan pers adalah ekspresi pribadi paling asasi yang harus dijamin di manapun, siapa pun, dan kapan pun. Ini artinya, ditiadakannya kebebasan pers merupakan kemunduran dari permukaan bumi, berbagai tujuan ideal kehidupan pun akan ikut terkubur.[30]

Penggunaan kedua istilah tadi secara yuridis pun masing-masing pernah digunakan, misalnya dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 1966 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers dalam Pasal 5 Ayat (1) : “Kebebasan pers sesuai dengan hak asasi warga Negara di jamin” dan Pasl 5 Ayat (2) : “Kebebasan pers ini didasarkan atas tanggungjawab nasional dan pelaksanaan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang ini”.[31]

Undang-Undang ini selanjutnya mengalami penambahan melalui Undang-Undang No. 4 tahun 1967 dan perubahan melalui Undang-Undang No. 21 Tahun 1982. Kemudian diganti dengan dikeluarkannya Undang-Undang No. 40 Tahun 1999. Di ketentuan perundang-undangan pers yang baru, istilah “kebebasan pers” tidak lagi digunakan. Tetapi diganti dengan istilah “kemerdekaan pers”, ia diatur dalam Pasal 2 yang berbunyi bahwa kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berdasarkan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan supremasi hukum”, kemudian Pasal 4 Ayat (1) menyebutkan bahwa kemerdekaan pers dijamin sebagai hak asasi warga Negara, Pasal 4 Ayat (2) menerangkan bahwa terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran”.

Dalam Pasal 4 Ayat (3) disebutkan bahwa untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi, dan Pasal 4 Ayat (4), mengatakan bahwa dalam mempertanggungjawabkan pemberitaan di depan hukum, wartawan mempunyai hak tolak.[32]

Landasan hukum tentang kemerdekaan atau kebebasan pers di atas, diperkuat dalam amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 28 F sebagai berikut:

Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.[33]

Wikrama dalam bukunya[34] mengatakan, dari bunyi pasal di atas ada beberapa frase kunci yang dapat ditafsirkan sebagai kemerdekaan pers, yaitu: hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi, dan hak mencari, mengolah, dan menyampaikan informasi melalui saluran yang tersedia. Namun demikian, penyebutan kemerdekaan pers masih sebatas implisit, bukan eksplisit. Sehingga ketika mengatakan kemerdekaan pers disini hanyalah sebuah tafsiran saja, dan ini membuka peluang yang sama untuk lainnya menafsirkan sesuai kepentingannya.

Sejalannya ide kemerdekaan pers dalam ranah hukum positif Negara kita, tidak terlepas dari gagasan normatif yang diatur dalam Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), sebagai berikut:

Setiap orang berhak atas kebebasan memiliki dan mengeluarkan pendapat, dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas (wilayah).


[1] Abdul Munir Mulkan, dkk, Membongkar Praktik Kekerasan; Menggagas Kultur Nir Kekerasan, (Malang, 2002), hal. 20.

[2] Ibid.

[3] Rieke Diah Pitaloka, Kekerasan Negara Menular ke Masyarakat (Yogyakarta, 2004), hal. 10.

[4] Ibid. hal. 11. Rieke dalam tulisannya mengambil pendapat E. Kristi Poerwandari, dalam buku Kekerasan dalam Perspektif Subjek Objek : Telaah Perilhal Negasi “Yang Lain”, sebuah disertasi Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (Jakarta, 2002) hal. 325.

[5] Eko Prasetyo, HAM : Kejahatan Negara dan Imperialisme Modal (Yogyakarta, 2001), hal. 181.

[6] Rieke, Op. Cit., hal. 7. Pitaloka mengambil sumber ini dari pemikiran Poerwandari dalam buku Kekerasan dalam Perspektif Subjek Objek : Telaah Perilhal Negasi “Yang Lain”, sebuah disertasi Program Pasca Sarjana Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (Jakarta, 2002) hal. 325.

[7] Ibid.

[8] Dom Helder Camara, Spiral of Violance atau Spiral Kekerasan, terj. Komunitas Aparu dengan Kata Pengantar Lambang Trijono, MA (Yogyakarta, 2000), hal x et seq.

[9] M. Djen Amar, SH, Hukum Komunikasi Jurnalistik (Bandung, 1984), hal. 16.

[10] Indonesia, Undang-Undang tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers, UU No. 11. Tahun 1966, LN No. 40, tahun 1966.

[11] UU 40. Op. Cit., Pasal 1 Ayat (1).

[12] Gumgum Gumilar, S.Sos., M.Si, Bahan Ajar Bahasa Jurnalistik Konsentrasi Ilmu Jurnalistik – Prodi Ilmu Komunikasi- Fisip- Unikom, tanpa tahun. hal. 2.

[13] Idem

[14] UU 40, Op. Cit., Ps. 3 ayat (1).

[15] Ibid. Ps. 5 ayat (1), (2), dan (3).

[16] “Wartawan,” Wikipedia Indonesia : Ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia (Maret 2008), http://id.wikipedia.org/wiki/Wartawan, diposting Jum’at, 01-08-08. Sumber berkaitan halaman tentang wartawan ini menurut keterangan dalam Wikipedia terakhir di ubah pada 12 Maret 2008.

[17] UU 11, Op. Cit., Ps. 1 ayat (3) dan (4).

[18] UU 40, Op. Cit, Ps. 1 ayat (4).

[19] Istilah lain wartawan adalah juru warta, jurnalism, reporter, newsgatter, press-man, kuli tinta, nyamuk pers, komunikator massa, dan pembela kepentingan rakyat. Dalam praktinya, mereka dapat dikelompokkan dalam beberapa golongan, yaitu 1) Wartawan Profesional, tipe wartawan yang menjadikan dunia kewartawanan sebagai profesi. 2) Wartawan FreeLance, tipe wartawan yang tidak terikat pada satu kantor berita/surat kabar. 3) Wartawan Koresponden, tipe wartawan yang bekerja di suatu daerah yang tidak satu wilayah dengan penerbitan dan mengirimkan berita melalui faksimili, e-mail, atau sarana komunikasi lainnya. 4) Wartawan Kantor Berita, tipe wartawan dari satu kantor berita yang mencari berita untuk suatu kantor berita kemudian beritanya di salurkan atau dijual ke berbagai lembaga penerbitan yang membutuhkan. Lebih lanjut lihat http://www.penulissukses.com/penulis37.php, diposting Jum’at, 01-08-08.

[20] Amar, Op. Cit.,hal. 19 et seq.

[21] Ibid. hal. 20.

[22] Eko Yahya, Perbandingan Sistem dan Kemerdekaan Pers (Bandung, 2004), cet., pertama, hal 3.

[23] Ibid. hal. 21.

[24] Ibid. hal. 21 et seq.

[25] Alex Sobur, Etika Pers : Profesionalisme Dengan Nurani, Cet 1, Maret 2001 (Bandung, Humaniora Utama Press), hal. 331. Alex mengambil sumber ini dari Hasim Nangtjik, Arti dan Konsep Kebebasan Pers : Kasus Indonesia” dalam Tidar, Herald, dan Suryadi, Petrus (ed.), Persuratkabaran Indonesia dalam Era Informasi : Perkembangan, Permasalahan dan Perspektifnya (Jakarta, Sinar Harapan : 1986)

[26] Ibid, hal. 329. Alex mengambil sumber ini dari William Hachten, The World News Prism. Ames : Iowa State University Press.

[27] Ibid, hal. 332

[28] Ibid. Alex mengambil sumber dari Susanto, Globalisasi dan Komunikasi. 1993 (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan)

[29] Ibid

[30] Nurudin, Pers dalam Lipatan Kekuasaan : Tragedi Pers Tiga Zaman, Cet 1, Januari 2003 (Malang, UMM Pers), hal. 1.

[31] UU 11 Op. Cit., Pasal 5 Ayat (1), (2).

[32] UU 40, Op. Cit, Ps. 1 Ayat (1), (2), (3), (4).

[33] Perubahan Keempat Amandemen UUD 1945 yang disahkan pada 10 Agustus 2002.

[34] Wikrama, Op. Cit., hal 39 et Seq.

Satu Tanggapan

  1. infonya bagus

Tinggalkan komentar