Musisi Jalanan : Antara Dakwah & Realitas Sosial


Oleh :  R.M. Ahmad Ba’its Diponegor, SH., S.HI.

MUSISI Jalanan…kalian pasti pernah mendengarnya?! Betul, istilah musisi jalanan atau pengamen pada umumnya merupakan pekerjaan yang terkadang dipandang sebelah mata sebagian kita. Sebagian besar komunitas ini adalah mereka yang sangat membutuhkan pekerjaan di negeri ini, namun tersisih lantaran derasnya kerasnya hidup.

Entah di Ibu Kota, maupun kota-kota besar bahkan kota-kota kecil sekalipun. Mereka ada dimana-mana?! Tapi terkadang diantara kita, cukup sedikit mau menggerakkan hati mengelola saudara-saudara musisi jalanan? Kecuali bagi mereka pemilik modal yang memberikan ruang untuk menjadikan kaum musisi jalanan sebagai artis musik. Belakangan tak sedikit terjadi di negeri ini. Tak salah memang, dan usaha kalangan record seperti ini patut diancungi jempol.

Dus, ada hal menarik lain dari pemuda-pemudi musisi jalanan yang barangkali sempat terlintas dalam pikiran, benak dan membuat bibir tersenyum bangga. Apa itu? “Dakwah”. Ya, benar! Cara dakwah melalui tembang-tembang sosio agama sungguh mampu menggugah hati lebih dalam akan keberadaan mereka.Jadi teringat, kamis sore (10/09/09). Saya naik bus jurusan bungurasih dari stasiun pasar turi, sesaat bus itu berhenti (ngetem, jawa-pen) sekitar 5 menit-an. Dua musisi jalanan (berpenampilan kaos oblong sederhana. Dimana sang vokalis berambut gondrong, tekstur bibir tebal akibat rokok, suara serak menakjubkan. Dan kawannya berambut sedikit belah tengah kebelakang turut menyanyi dan terakhir bertugas menarik upah hasil menyanyi) naik bus dan mulai memainkan alat musiknya. Lagu pertama, mengenai sosok Marsinah. – seorang aktivis dan buruh pabrik PT. Catur Putra Surya (CPS) Porong, Sidoarjo, Jawa Timur yang diculik dan kemudian ditemukan terbunuh pada 8 Mei 1993 setelah menghilang selama tiga hari. Mayatnya ditemukan di hutan di Dusun Jegong Kecamatan Wilangan Nganjuk, dengan tanda-tanda bekas penyiksaan berat- lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Marsinah-.

Dalam lagu tersebut, diceritakan sosok Marsinah dibunuh dengan cara sebelumnya diperkosa oleh penjahat-penjahat kiriman tak bertanggungjawab. Hanya karena haknya memperjuangkan keadilan buruh, ia mendapat balasan berupa kematian. Kasus itu sendiri hingga kini masih menyisakan misteri yang tak terungkap.

Pada lagu kedua, mereka menyanyikan tembang dakwah memantik hati. Apa itu? Soal kewajiban menunaikan sholat dan lalainya kita untuk melaksanakannya. Syairnya kurang lebih sebagai berikut :
“Gema adzan shubuh, kita masih tidur. Gema adzan Dzhuhur kita sibuk bekerja. Gema adzan Ashar kita tidur-tiduran. Tuhan…layakkah surga untukku. Gema adzan Maghrib kita masih dalam perjalanan. Gema adzan Isya’ kita capek dan tertidur…”.

Sederhana bukan? Tapi inilah wujud simpel dakwah musisi jalanan untuk saling mengingatkan sesamanya. Tak lupa, ia menyampaikan penghormatan kepada kaum muslimin dalam menunaikan ibadah puasa.

Bagaimana dengan kita atau orang-orang yang mengaku muslim dan secara pekerjaan barangkali lebih beruntung?. Saya yakin, dalam hal ibadah sholat misalnya, lupa atau melupakannya?! dikarenakan kesibukan aktivitas-aktivitas di dunia. Wallahu’alam.

————————–

Dua tembang kedua musisi jalanan di atas, adalah permisalan atau lebih tepatnya wujud dakwah atas realitas sosial di negeri Indonesia. Ya, mungkin saja. Dikarenakan tidak mampu masuk dalam struktural kebijakan, mereka lantas membuat dan mendendangkan musik-musik bergenre sosio agama.

Diluar itu, saya kira masih banyak lagi musisi-musisi jalanan dengan beragam aliran musik mengumandkan nyanyian penggugah jiwa. Ada baiknya, para politisi atau para pejabat untuk mencoba naik kendaraan umum kelas ekonomi dan mendengarkan suara hati mereka. Agar minimal hatinya tergugah, bahwa kebijakan-kebijakan yang dibuat tidak tepat sasaran dan cenderung menggolongkan mereka dalam kapling kemiskinan. Istilahnya, korban kemiskinan struktural.

Karenanya, sebagai seorang muslim. Kita patut bersyukur dengan kehadiran mereka, dengan cara menghormatinya. Bagi saya, pekerjaan mereka lebih mulia ketimbang para pengemis yang berseliweran dimana-mana.

Untuk para pemilik modal di dunia entertainment-musik. Teruslah memantau dan kelola potensi emas mereka. Untuk para pejabat/politisi busuk, sadarlah akan realitas sosial kalian dan melakukan aksi-aksi konkret tak sebatas dialektika saja. Untuk para penumpang kendaraan umum atau masyarakat luas yang barangkali terganggu dengan kehadiran mereka. Tolong untuk berhenti bersikap demikian. Untuk kalangan LSM, kelola mereka dengan cara bijak dan tak dipolitisir. Untuk agamawan, bekali mereka dengan ilmu-ilmu agama, toh bisa dijadikan media dakwah Islam. Jadikanlah agama hidup dalam ruang nyata, tidak berhenti di ruang hampa. Untuk kaum musisi jalanan, teruslah berkarya dengan menghasilkan syair-syair bijak penggugah jiwa bergenre sosio agama.

Wallahu’alam

(Surabaya, 21 Ramadhan 1430 H bertepatan 11 September 2009 H)

Tinggalkan komentar